banner 728x250

Citarum Harum “Trambesi” Pergi Oleh Narliswandi Piliang

PETANG merembang melalui kawasan Koba, Bangka Tengah. Gerimis turun. Jelang Magrib. Terang seakan raib. Rehat ke sebuah kedai kopi, tampak deretan Kelapa Muda, mengundang selera. Di meja, Otak-Otak berkemasan daun pisang bakar berjepitan lidi atas bawah. Tak biasanya keduanya tak menghentikan langkah. Saya lurus menuju tepian pantai.

Tampak pohon keras, lumayan besar. Ada pinus juga di tepian. Ada pohon berakar hitam berserabutan, pokok tua. Entah mengapa sekelebat ingatan saya terlintas kepada sosok Doni Monardo, masih dirawat di ICU sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat, sudah berbulan. Perahu nelayan di kejauahan berayunan.

“Pembibitan pohon tanaman keras seperti Trambesi terus saya lakukan.”

“Malu dengan Singapura kini Trambesinya tinggi-tinggi.”

“Di Makasar, di Padang, dan banyak tempat Trambesi kami tanam kini sudah mulai tinggi.”

Saya mengingatkan soal Djamaloedin Adinegoro bukunya Melawat ke Barat, 1926, ia deskripsikan perjalanannya dari teluk Bayur merapat di Bandar Tumasik, kini Singapura. Era itu Tumasik berdebu, gersang, tepian laut banyak perahu jukung, warga tidur di perahu, kotoran menghampar berenang-renang.

Sebaliknya, ketika Adinegoro, Bapak Pers itu, merapat di Belawan, udara sejuk di kota Medan kala itu, pohon Trambesi dan Meranti besar, tinggi.

“Kini semua terbalik-balik.”

Begitu kalimat mantan Kepala Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) ini. Di saat Covid 19 puncaknya ia saban hari menghiasi media. Adalah Egy Masadiah, sahabat dekatnya menjadi staf ahli. Karena acap menulis deskriptif naratif, Egy menyampaikan ke mantan Pangdam lll Siliwangi ini satu momen mengajak saya ikut perjalanan keliling.

Maka Medio Maret 2021, saya ikut dalam perjalanan dinas BNPB, Bang Doni, ke Palangkaraya, ke Pangkalpinang, ke Lampung. Dalam lawatan bermalam, menginap.

Bangka sudah sudah menjadi kampung saya.

Melenturkan keletihan di Pangkalpinang kami memancing ke laut, bersama Gubernur Erzadi kala itu, turut serta Kapolda, Anang Hidayat.

Lumayan lama kami memancing. Rekor kala itu kebetulan saya mendapat ikan terbesar dari terpqncing, nomor dua Kapolda, dan Sosok bertutur cool ini tak dapat ikan sama sekali. Saya sempat mengabadikan fotonya terdiam tak dapat-dapat ikan.

Kemarin itu Magrib usai. Saya masuk mobil di gerimis padat. Baru dua menit berjalan, saya buka gadget. Membaca Doni Monardo. Kipas penyapu kaca di depan mobil bergerak cepat memacu jantung ikutan berdetak cepat-cepat.

Air mata saya jatuh.

Saya menangis sesegukan, tanpa malu, kepada tiga rekan lain semobil.

Saya hubungi, siapa lagi kalau bukan belahan jiwa, Sandra IP, sejadinya saya menangis, “Bang Doni telah tiada.”

Ketika saya menuliskan ini, air mata ini jatuh lagi.

Dua hari sebelum ia ulang tahun ke-60 tahun ini mengajak kami makan siang jelang sore di Pacific Place. Ia memilihkan menu yang menurutnya top, ikan di antaranya. Kami makan bersemangat, Bang Doni lahap.

Di saat suapan kedelapan, benar saya ingat, teleponnya bergetar. Seorang Jend., Pur., meneleponnya.

“Don ayuk gabung kita dukung … Capres 2024, aku di timnya.”

Suara berikutnya saya tak dengar. Ada lebih lima menit makan Doni terhenti.

“Maaf Bang, maaf, saya ikut nanti saja ke yang menang saja. Kalau sudah ada presiden terpilih ke sana kita mengabdi.”

Begitu jawaban Doni.

Ia tak membahasnya lagi, lalu kami makan lagi. Menu dipesan melebihi volume makan kami berempat suami isteri, tak ayal beberapa harus dibungkus, akhirnya.

Sebagai komisaris utama Mindid, saya sempat memaparkan kalau 2024 kita Indonesia sudah meratifikasi konvensi Minamata. Pertambangan emas tidak boleh lagi memproses emas menggunakan Merkuri. Saya sempat mempromokan mini smelter emas bisa tanpa merkuri buatan anak negeri. Kami bersepakat mencari momen untuk survei ke Bogor, ke workshop-nya.

Ketika rencana belum terlaksana, dugaan saya pas ketika di tepi pantai di pokok pohon besar saya tetingat Bang Doni, tepat di gerimis menangis itu Malaikat mencabut nyawanya, pukul 17.35.

Saya usap air mata ini di mobil cepat-cepat. Saya bunuh tangis sambil menggenggam telepon masih online dengan Sandra.

Saya teringat akan setahun saja ia di Pangdam lll, punya program Citarum Harum, kali hitam berbau itu kini sudah memgalami pencemaran rendah dari hitam kelam bin busuk.

Saya terdiam.

Surga di mana dominan hijau dan di mana air bening mengalir. Di luar ia tentara, di luar ia jenderal, di luar ia berdarah Minang, kami merasa dekat, walau hanya satu dua kalai bertemu tapi dilekatkan pemahaman; beningkan air mengalir, hijaukan lingkungan, menanam dan menanam.

Saya yakin, jasadmu harum: doa dari kami dalam air mata terus mengalir. Saya sangat yakin Allah SWT menempatkanmu di-Surga-Nya.

“Video ini luar biasa, bayangan kita dari atas pesawat.”

“Bayangan kehidupan juga, antara kita nyata dan tiada.”

Tanggapannya akan rekaman video dari pesawat Hercules dari Pangkalpinang ke Lampung 21 Maret 2021 itu menjadi eksklusif saya simpan, esok mungkin akan saya posting sebagai perjalanan doa tida henti untukmu Bang Doni***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *