banner 728x250

Wartawan Didemo di Bangka Barat, IJTI Babel Sebut Kulminasi Anomali Profesi

BE,PANGKALPINANG – Aksi unjuk rasa sekelompok warga penambang pasir timah dan petani terhadap oknum wartawan di Bangka Barat pada Jumat, 12 Mei 2023 lalu dinilai sebagai titik puncak dari penyimpang profesi atau kulminasi anomali profesi yang sudah berlangsung sedemikian lama.

Diberitakan sebelumnya, ratusan penambang dan petani menggelar “rapat akbar” di lapangan terbuka di jalan Kimjung, desa Puput, kecamatan Parit Tiga, Bangka Barat, Bangka Belitung sebagai bentuk keresahan terhadap maraknya aksi pemerasan yang dilakukan sejumlah oknum yang mengatasnamakan wartawan.

Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) pengda Bangka Belitung yang merupakan organisasi profesi wartawan profesional sekaligus konstituen Dewan Pers menanggapi fenomena tersebut sebagai sebuah cerminan dan refleksi atas bias kemerdekaan pers yang terjadi tidak hanya di Bangka Belitung, namun juga di seantero Indonesia.

Menurut Ketua IJTI Pengda Bangka Belitung, Joko Setyawanto, dinamika kehidupan pers saat ini berkembang positif dimana keberagaman kepemilikan media menjadi salah satu indikator dari perkembangan pers di tanah air. Era digital disruption telah membidani lahirnya begitu banyak media baru terutama yang berbasis online sehingga membuka lapangan pekerjaan yang cukup luas.

Tidak dapat dipungkiri, semangat keterbukaan informasi dan kemerdekaan pers ini juga banyak dimanfaatkan oleh penumpang gelap yang kemudian melakukan praktik-praktik menyerupai pers (pseudo press), karena pada satu sisi mereka nampak melakukan aktifitas layaknya kerja-kerja jurnalistik, namun disisi lain melakukan praktik-praktik yang bertentangan dengan kode etik jurnalistik, seperti melakukan pemerasan dengan dalih menangguhkan atau mencabut berita.

Dijelaskan Joko, kemerdekaan pers memberikan jaminan dan ruang bagi setiap warga negara untuk menjadi wartawan/jurnalis, sama seperti halnya profesi lain. Namun yang perlu digarisbawahi, wartawan adalah profesi atau pekerjaan yang tidak hanya butuh kemampuan dan kemauan, namun juga dituntut memiliki wadah perusahaan yang menaunginya karena jurnalisme adalah produk sebuah sistem pemberitaan, dimana didalamnya wajib terdapat mekanisme redaksional sebelum disajikan ke publik.

Tentu saja perusahaan itu harus mengikuti syarat dan ketentuan sebagai perusahaan pers. Bagi individu pekerja medianya sendiri, untuk menjadi wartawan dibutuhkan kemampuan sehingga layak dipekerjakan oleh perusahaan media sebagai wartawan profesional.

“Kita tidak berbicara tentang legal atau ilegal, media mainstream atau new media, abal-abal atau bukan abal-abal. Tapi ini lebih pada moralitas, mentalitas, dan integritas wartawan. Semua orang boleh menjadi wartawan karena profesi ini merupakan profesi terbuka, namun ketika kita memutuskan untuk menekuni sebuah profesi, sebaiknya membekali diri dengan kemampuan tehnis, karena ini satu-satunya jalan untuk menjadi profesional. Tidak mungkin orang bisa menjadi dokter kalau tidak mempelajari seluk beluk tehnik pengobatan.”kata Joko.

Terkait permasalahan yang terjadi di Bangka Barat tersebut, Joko menilai bahwa permasalahan itu hanyalah persoalan sepele yang dipicu oleh ketidak profesionalan kedua belah pihak, dan sama sekali tidak berkaitan dengan pers karena memiliki muatan berupa motivasi lain diluar pemberitaan.

Penambang dan petani profesional tentu tahu aturan dan batasan dalam menjalankan usahanya, dan sadar betul.bahwa ada cara-cara dan area yang tidak diperbolehkan bagi aktifitas ekonomi tersebut, misalnya kawasan hutan lindung. Ketika batasan tersebut dilanggar maka akan membuka celah bagi oknum wartawan yang juga secara tidak profesional untuk menjalankan aksi pemerasan dengan modus mengancam memberitakan dan sebagainya.

“Sebagai konstituen Dewan Pers, kami hanya ingin mengingatkan, bahwa perlindungan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, hanya berlaku bagi wartawan/jurnalis profesional, yang tengah menjalankan tugas jurnalistik. Perlindungan ini tidak bersifat melekat kepada insan pers. Jadi jika ada oknum wartawan yang melakukan aksi pemerasan, terlepas apakah wartawan tersebut bekerja di media mainstream ataupun bukan, adalah sebuah tindakan kriminal yang bisa dipidanakan dan tidak akan mendapat perlindungan UU Pers. Jadi jika ada warga masyarakat yang merasa menjadi korban pemerasan, silahkan melapor ke pihak kepolisian agar dapat diproses secara hukum.” tegas Joko.

Menanggapi ancaman pemuatan berita dan atau permintaan imbalan untuk menghapus berita, Joko menyebutkan bahwa didalam kaidah jurnalistik, pers tidak mengenal dan tidak boleh melakukan pencabutan atau penghapusan berita yang sudah ditayangkan, kecuali atas pertimbangan Dewan Pers. Jika terjadi kesalahan pada sebuah pemberitaan, yang boleh dilakukan adalah mekanisme ralat dan koreksi dengan tetap melampirkan link pemberitaan sebelumnya.

“Pers harus mempertanggungjawabkan setiap produk jurnalisme yang dipublis, tidak ada kata pencabutan/penghapusan berita atau yang lebih dikenal dengan istilah “404 page not found”, karena hal itu merupakan penghinaan bagi publik. Terkecuali terkait masa depan anak, rasa trauma, ataupun hal-hal khusus yang diputuskan oleh Dewan Pers, bukan oleh media yang merilis berita tersebut.”kata Joko. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *