Penulis: Satyagraha
POTENSI ancaman kemerdekaan pers belakangan kian nyata. Potensi ancaman itu sebenarnya bisa datang dari pihak mana saja. Tak terkecuali bisa saja datang dari pendukung pasangan yang bertarung dalam Pilkada serentak 2024.
Bibit-bibit ancaman itu mulai mencuat dalam sejumlah pemberitaan sejumlah media online. Meski belum bisa disimpulkan bahwa sudah masuk katagori anarkisme, namun secara verbal tersirat pesan yang sangat kuat ketidak sukaan kepada pers yang profesional dalam menjalankan kewajibannya yaitu mengabdi kepada kepentingan publik.
Tak pelak beragam tudingan dimuntahkan untuk memojokkan pers bahwa produk jurnalistik dinilai sebagai fitnah, dan sederet tudingan yang intinya mengkerdilkan karya jurnalistik sebagai karya yang cacat, tidak patut bahkan dituding sebagai serangan kepada personal tertentu yang kebetulan ada dalam kontestasi pilkada Bangka Belitung.
Belakangan bak pahlawan kesiangan, ujug-ujug muncul pula pemberitaan yang mengutip sang sosok dukungan itu dalam narasi yang menyejukkan yaitu agar para pendukung bersabar terhadapterus diserang fitnah yang dilancarkan yang tentu saja sudah bisa ditebak maksudnya oleh sejumlah pemberitaan.
Sangat jelas hal ini adalah kedunguan. Upaya memanfaatkan ruang publik untuk pencitraan seolah-olah sebagai korban atau playing victim. Jadi seolah-olah menjadi korban dari fitnah.
Padahal faktanya tidak ada. Yang disebut fitnah itu yang mana? Hingga detik ini tidak mampu ditunjukkan. Mengapa? Karena kritik sejumlah media terhadap bakal kandidat dalam pilkada menghadirkan fakta dan data. Basis argumennya adalah fakta kebijakan ketika sedang berkuasa. Jadi bukan sentimen personal.
Kritik itu basisnya adalah argumen, bukan sentimen. Silahkan lawan dengan argumen. Ucapkan argumenmu, jangan simpan sentimenmu.
Yang disoal oleh sejumlah pemberitaan adalah pikiran ketika berkuasa yang diturunkan menjadi sejumlah kebijakan resmi. Nah, kebijakan itu dinilai gagal total. Yang akibatnya dirasakan rakyat hingga hari ini.
Meminjam istilah Rocky Gerung, kedunguan konsep, itulah yang menjadi biang dari masalah hari ini. Pikiran disebut pikiran kalau dipertengkarkan. Kalau anda punya pikiran tapi tidak ada yang membantahnya itu anda sedang “berdoa”. Jadi tidak boleh mengganggu orang sedang berdoa. Itu bedanya berfikir dan berdoa. Nah Pilkada itu ranahnya adu gagasan, adu konsep. Konsep itu harus diuji. Cara mengujinya dengan mempertengkarkannya.
Konsep usang mau dipakai lagi? Lha sudah nyata gagal, masak rakyat mau mengulang kegagalan itu lagi? Pasti tidak. Rakyat sudah semakin cerdas. Sudah semakin independen dan pikiran mereka sudah semakin merdeka.
Bisa jadi dulu 2017 ketika Pilkada, rakyat terpukau dengan sejumlah sosok. Yang menampilkan wajah ramah, akrab, tidak licik dan humanis.
Tapi dalam rentang lima sampai tujuh tahun terakhir rakyat merasakan kebijakan demi kebijakan dari kursi kekuasan. Apakah kebijakakan itu baik atau tidak, hak rakyat menilai dan memutuskannya.
Maka jangan heran kalau hari ini muncul istilah #StopPilihNgerapek. Ngerapek atau omong kosong adalah basis penilain rakyat atas pemimpin yang sering ingkar janji. Yang janjinya melangit, alias tidak membumi alias dusta.
Misal, ini sekali lagi misalkan saja, dulu ada yang berkoar-koar bahwa bisa mensejahterakan petani dengan pohon sirih bisa setinggi hingga 16 meter. Tahu-tahu jangankan sampai 16 meter dengan buah kiloan gram, malah justru yang ada sirihnya mati akibat bibit jelek, pupuk jelek. Nah ini bisa diartikan sebagai Ngerapek.
Sekali lagi, ilIstilah Ngerapek ini bukan untuk personal tertentu, maka tak perlu juga ketika ada yang kenyebut atau ada berita soal istilah Ngerapek lantas tersinggung. Kemudian menuding sebagai fitnah dan dirinya seolah-olah jadi korban fitnah. Nah ini jelas manipulasi dengan tujuan agar mendapat simpati dari publik.
Namun hal itu pasti sia-sia. Publik hingga ke pelosok desa hati nuraninya lebih peka, lebih hidup dan akalnya pun masih waras. Pemilih pemula pun kini kian melek teknologi untuk mengecek rekam jejak kandidat dari berbagai sumber informasi. Salah satunya melalui pemberitaan media yang jujur, objektif, sesuai fakta dan data yang akurat. Sebab, kita tidak ingin salah pilih, tidak ingin pemimpin yang lemah, anti kritik, memutar balikkan fakta dengan berlindung di balik kata-kata manis dengan ciri suka ngerapek dan suka playing victim. (*)