banner 728x250

Kemunduran Demokrasi itu Dimulai dari Rumah Kita

 

Editorial
Rudi Syahwani (Pemimpin Redaksi)

Fenomena kotak kosong adalah kemunduran Demokrasi? Mungkin ada benarnya. Tapi harus dipahami, bahwa sebenarnya fakta soal banyaknya calon tunggal yang muncul dalam Pilkada serentak tahun 2024 ini merupakan multiplayer effect dari kemunduran Demokrasi di tingkat masyarakat.

Calon tunggal itu bisa dibahasakan sebuah ‘aklamasi’ oleh para parpol. Calon tunggal yang kemudian merujuk pada proses pemilihan melalui aklamasi sesungguhnya bukan hal yang asing dalam sebuah proses suksesi posisi pimpinan.

Biasanya dalam kontestasi pada skala organisasi, pengajuan calon tunggal atau aklamasi acap kali ditemui. Terakhir kali kita menyaksikan bahwa proses penunjukan Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum Golkar juga dilakukan dengan aklamasi. Apakah kemudian pemilih atau konstituen Partai Golkar protes…? Tentu tidak. Padahal semestinya mereka berkontribusi terhadap eksistensi Partai Golkar hingga hari ini. Namun diamnya para konstituen disebabkan faktor ketidakpedulian masyarakat, karena pemikiran pragmatis yang sudah mengakar hari ini.

Begitu juga hal nya dengan fenomena kotak kosong sebagai akibat dari aklamasi para elit parpol merujuk kepada calon semata wayang. Seberapa besar reaksi warga? Dari beberapa even kotak kosong yang digelar, pesertanya tak lebih dari 200 orang. Itu pun mungkin masih ada 1/3 yang datang karena keramaian. Yang begini biasanya hanya datang dan lihat-lihat.

Seperti contoh kegiatan FGD kotak kosong di Taman Sari Pangkalpinang sepekan lalu, yang datang mungkin sekitar 200 an orang, namun setidaknya ada 1/3 yang justru mencibir kotak kosong. Hanya beberapa relawan kotak kosong saja yang bikin ramai karena menyela penyampaian dari nara sumber. Begitu pun sebaliknya, bahwa dari mereka yang menolak kotak kosong. Sisanya mungkin sekitar 1/7 dari hadirin, malah Cuma sekedar nongkrong dan lihat-lihat.

Antusiasme menanggapi tema Kotak Kosong dalam tidak terlihat dari kalangan masyarakat. Justru yang teriak-teriak mereka para relawan yang berkumpul berkelompok. Begitu pun acara diskusi Ruang Kosong yang digelar di monumen Kerita Sorong di Jalan Sudirman Pangkalpinang pada Sabtu (12/10/24) malam. Bisa dibilang acara yang digelar oleh pondok aspiras tersebut dihadiri maksimal sekitar sekitar 100 orang warga. Rasanya belum merepresentasikan antusiasme untuk memenangkan kotak kosong.

Bukan hal yang mengejutkan tentunya, karena seperti yang disampaikan diawal, bahwa fenomena kotak kosong ini hanyalah multiplayer effect dari kemunduran demokrasi yang sebenarnya. Bahwa mindset masyarakat yang pragmatis dalam menyikapi kontestasi seperti Pemilu dan Pilkada ini lah kemunduran demokrasi yang sebenarnya.

Bahwa masyarakat kita sendiri tidak begitu peduli soal visi dan misi, soal program, propagan jargon para kandidat. Karena yang mereka lebih pedulikan adalah berapa nominal yang mereka terima atas hak suara yang mereka miliki. Fakta bahwa program-program atau lebih tepat janji-janji politik para kandidat hari ini tidak lagi menjadi diskursus di tengah masyarakat, apakah itu menyangkut keberlangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat mereka manakala sang kandidat nantinya terpilih .

Karena bahasa-bahasa tak ambil pusing seperti “siapa pun yang jadi, kita tetap seperti ini” itu mulai diyakini masyarakat. Sehingga program atau janji hingga bualan para kandidat tidak lagi mereka pedulikan. Masyarakat hari ini hanya bertanya, “Suara kami dibayar berapa?”

Disinilah letak kemunduran demokrasi yang sebenarnya. Ketika uang menjadi ukuran untuk menentukan pilihan, maka jangan salahkan juga para elit politik melakukan aklamasi. Karena mereka telah memiliki parameter, bahwa masyarakat yang merupakan konstituen parpol juga merasa bahwa mereka telah ‘membeli’ otoritas memilih dari masyarakat itu sendiri.

Dan itu terkadang terjadi di depan kita, di ruang tamu rumah kita, di bawah pintu rumah kita, bahwa para timses caleg atau timses cakada, menawarkan kompensasi untuk mengarahkan pilihan, kita bahkan mungkin ikut menyepakati itu. Lantas layakkah hari ini kita menuding kotak kosong sebagai sebuah kemunduran? Sementara kemunduran demokrasi yang mendatangi rumah kita dibiarkan terjadi. Ini lah omong kosong..!!(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *